Kisah-Kasih Perantau Payah


Hidup adalah pilihan, menjadi petarung atau menjadi pecundang.

Cerita ini kuambil dari kisah seorang perantau yang payah di tanah perantauannya. Dia adalah seorang pria kelahiran Indonesia Timur.

Konon ia terlahir tanpa pertanggungjawaban seorang ayah dan dari lahir hingga ia menginjak usia remaja, kausalitas kehidupannya kerap tak beraturan. Menurut kisahnya, ia hanya mengenal sosok ibunya yang tak juga memberikan kasih dan sayangnya sebagaimana para ibu pada umumnya.

Di usianya enam bulan, ia dibawa ke negeri jiran oleh ibunya. Setelah menginjak usia enam tahun, ia kemudian pulang ke tanah kelahirannya (Nusa Tenggara Timur). Ibunya bingung ketika ingin menyekolahkannya ke Sekolah Dasar, sebab tak punya ekonomi yang bagus.

kemudian ibunya memilih untuk menitipkannya ke keluarga ibunya yang berada di Manggarai Tengah, NTT. Akhirnya ia pun masuk ke salah satu Sekolah Dasar yang berlokasi di Manggarai Tengah tersebut.

Prestasi demi prestasi pun ia raih dalam pendidikan bangku SD-nya, namun sayang keadaan kala itu tak bersahabat dengannya. Menurut kisah yang ia ceritakan, ia kerap mendapatkan siksaan dari kedua orang tua asuhnya dan kabar itu pun terdengar oleh ibunya yang berada di desanya.

Ia pun harus diambil paksa oleh ibunya, ketika masih menginjak bangku kelas IV SD. Ibunya pun membawanya pulang ke kampung halamannya dan memasukannya ke salah satu Sekolah Dasar yang berada di desanya. Ia menyelesaikan pendidikan SD hingga MTs (Madrasah Tsanawiyah) dikampung halamannya.

Setelah lulus selama empat tahun dibangku Mts, ia pun berangkat ke Jakarta selatan untuk meneruskan pendidikan SMK-nya. Dari sinilah, ia mulai berfikir tentang hidup kehidupan yang selama ini ia jalani, namun tak ia pahami apa makna kehidupannya.

Doktrin agama mendominasi dirinya, dilingkungan sebuah yayasan yang berlokasi di Jaksel tersebut. Kerap melakukan perlawanan terhadap anak sang kiyai, sebab anak sang kiyai doyan melakukan tindakan diskriminasi dengan sewenang-wenang nya.

Hingga pasca lulus dari SMK-nya, ia kemudian memilih kabur dari yayasannya, kendatipun ditawari kuliah oleh sang kiyai. Jakarta timur menjadi tempat pelariannya. Kehidupan bebas dengan menjalani norma-norma keagamaan pun ia lewati sepanjang waktu pelariannya.

Sampai suatu ketika, ia dibanjiri dengan doktrin kebangsaan ala Soekarnoisme melalui buku Swadesta Arya Wasesa, yang membuat hidupnya semakin liar bak manusia tak bertuan. Dan kemudian mengantarkannya ke sebuah kampus yang dikenal sebagai poros pergerakan Kota Bekasi.

Di Kampus inilah, ia mengisahkan berbagai variasi gagasan dan gerakan para aktivis mahasiswa dan kaum organisatoris yang hingga kini kerap membuatnya semakin payah, sebab tak memiliki pengetahuan dan wawasan yang mumpuni dalam berkolaborasi bersama lingkungan sekitarnya.

Meski begitu, ia mengaku tak ingin berputus-asa untuk terus melanjutkan kehidupannya. Akankah ia menjadi seorang pejuang, sebagimana para tokoh pejuang yang ia temui di kampusnya? Ataukah sebaliknya, ia menjadi seorang pecundang dengan pergi meninggalkan medan perang?

(Mens)

Posting Komentar untuk "Kisah-Kasih Perantau Payah"