Kampusku Katanya Bangsaku

 

Cerpen yang berjudul Kampusku Katanya Bangsaku

Sahabatku seorang mahasiswa satu angkatan denganku. Namun, ia sudah lebih dulu mengenal dunia kemahasiswaan. Dengan karakternya yang percaya diri, sehingga membuat ia sangat adaptif, dan juga berideologi. Kenangan ketika ajang perpeloncoan dan doktrin kebodohan kampus yang dilakukan oleh kating yang sangat suci itu, aku satu kelompok bersamanya. Dan teman pertamaku di kerajaan jingga adalah dia, seorang mahasiswa baru yang sok bodoh pada kating, padahal sebelumnya juga dia sudah mengenyam 3 semester di salah satu kampus jakarta. Saya ingat betul, ia kenalkan dirinya dengan nama, Riko.

Usai ospek, aku melihat sekumpulan kating-kating yang sedang asik diskusi tentang bangsa ini. Lalu Riko berbisik; "Kampus ini adalah miniatur negara, jadi kamu harus tau bagaimana negara ini berjalan dari kampus jingga ini," suaranya pelan seperti tak mau terdengar oleh orang lain.

Itulah peristiwa yang kuingat pada masa awal ku masuk kampus ini. Kira-kira 3 tahun yang lalu. Perkataan itu membuat hati tergeruduk untuk memberanikan diri. Setiap harinya, sambil mengenderai motor, ku berbicara sendiri tentang buku-buku yang telah kubaca. Ku berbicara dengan intonasi yang baik dan seakan-akan ada ribuan orang dihadapanku. Kukatakan persis sebagaimana Nyai Ontosoroh dalam buku bumi manusia; "Berbahagialah kalian yang makan dari hasil keringat sendiri," saking semangatnya, tangan kiriku terkepal sambil menunjuk. Ku tak tahu seharusnya siapa yang harus dihadapanku, apakah mereka para kating itu, pejabat akademik kampus, atau siapapun itu yang kapitalis, yang jelas kukatakan itu dengan tegas.

Tak sampai 30 hari dibulan September hitam, ku sudah dapat membersamai diskusi-diskusi keilmuan, strategi, dan gagasan-gagasan mereka yang sangat hebat. Berhari-hari ku sudah ikut dengan budaya rutinan mereka. Tidur dikampus, baca buku, membangun wancana dengan strategi rumit, termasuk sulit bersahabat dengan air dipagi hari. Mulanya rada sulit untuk menjalaninya, namun ku gagal menjadi ikan yang tak asin dilautan. Tetap saja yang mendominasi itu selalu menusuk tanpa rasa sakit.

Sampai akhirnya, secara tak langsung, orang menganggap aku adalah mereka. Salah satu mahasiswa berkata demikian, dengan tegas ku bantah. Memang mungkin terlihat keren dan hebat. Seorang mahasiswa yang dapat melakukan segala-galanya, namun bagiku yang sudah mengetahui bagaimana hitamnya, ku tak ingin disamakan seperti mereka.

Bagaimana tidak, setelah saya berbulan-bulan bahkan 2 semester bersama mereka. Ku bisa melakukan semuanya dengan praktis. Bukan hanya tentang akademisi, melainkan tentang administrasi diri seperti KTP juga sangat mudah. Ku tak perlu punya rumah dengan alamat lengkap, tak juga perlu melalui jalur RT, RW yang seharusnya dilakukan. Abang-abang itu sudah siapkan segalanya, hanya datang dan tandatangan bermaterai tak cukup lama KTP bisa tercetak. Kalau soal akademisinya, beberapa dari kami juga tak perlu pusing mengajukan beasiswa denga persyaratan yang cukup rumit itu, abang senior itu mengajariku untuk cukup beri pesan suatu kasus yang terjadi dikampus. Kulakukan, ternyata benar. Tiba-tiba pesan itu dibalas dengan selembar kertas berbentuk soft file untuk claim beasiswa tersebut.

Beberapa peristiwa itu seakan-akan memberi pelajaran bagiku. Termenunung, memikirkan mengapa ternyata seperti ini. Bagiku, kami hanya mengkhianati gagasan kami sendiri. Terasa jiji, peristiwa seperti itu menghakimiku bahwa ku juga bagian orang yang menjilat ludah sendiri.

Kemudian, akhir-akhir ini ku lebih senang dengan kesendirian. Saat ini, kesepian adalah sahabat yang benar-benar setia padaku. Tiba-tiba, Riko, sahabat lamaku itu, datang membawa kopi merah padaku. Gayanya berbeda seperti dahulu, dengan senyuman dia bertanya; "Ada apa sebenarnya? Ku baca tulisan-tulisanmu, dibalik ganasnya tulisan itu, ku lihat kekecewaan yang mendalam," ucapnya. Memang, apapun keadaannya ku tetap menulis, barang di media sosial, web orang, maupun mading kampus. Ku kaget, dia menganggap tulisanku terdapat kekecewaan, sedang yang lain menganggap tulisan itu sangat represif.

"Darimana kau melihat kekecewaan itu?"

"Aku ini sahabatmu, mungkin satu-satunya sahabat yang tak dekat denganmu. Namun, setiap tulisanmu muncul, aku tetap baca. Bahkan sampai ku tahu, kau ubah profil penulis disalah satu web. Itu tulisan kau, kau hanya takut keadaan junior dan senior semakin keruh," ia sampaikan dengan serius.

Setelah kudengarkan, jujur ku tak bisa bicara apa-apa. Tak habis pikir, mana mungkin ada seorang sahabat yang jarang ngobrol, bahkan diskusi, bisa tahu betul tentangku. Ku merasa kecewa betul dengan diriku, mereka yang sering cuap-cuap dan merasa paling betul dikampus ini saja tak pernah ada yang membahas tentang tulisanku itu.

"Asal kau tahu Rik! Ku selama ini berproses didunia ini karena perkataanmu, ku ingat betul kau sampaikan bahwa kampus ini adalah miniatur negara," ku bicara tegas padanya.

Ia tak langsung menjawab, dengan gaya anehnya ia hanya tersenyum dan mengambil sebatang rokok lalu membakarnya. Ku tunggu apa yang akan disampaikannya padaku.

"Hei asni, tak ada yang salah dari perkataanku. Cuman kau saja yang berharap dan berimajinasi tinggi tentang negara ini. Kau terlalu banyak baca tentang buku gerakan jaman dahulu. Kini kau harus sadar, bahwa keadaan bangsa saat ini tak jauh peristiwa yang kau alami dikampus ini. Dimana yang punya kekuatan, bisa malakukan apa saja yang ia mau. Dimana ada kekuasaan, disana juga terletak kerakusan," kali ini benar-benar tegas ia sampaikan.

"Lantas kita harus bagaimana?"

"Kalau kau peduli pada peradaban bangsa ini, tetaplah menulis. Jujur, kusadar bahwa semuanya harus bersih dari bawah berkat kubaca tulisanmu," sambil menepuk dada ia jelaskan.

Itulah pesan terakhirnya, tak tahu apa yang ingin ia lakukan lagi padaku. Setelah ia sampaikan itu, ku tak beri kesempatan untuk berbicara lagi. Ia pergi begitu saja, seperti malaikat didalam film.

Posting Komentar untuk "Kampusku Katanya Bangsaku"