Indonesia tak kehabisan orang pintar, ia hanya kehabisan orang yang menganut romantik. |
Seluruh insan harus mengedepankan nilai-nilai romantisisme, karena kian hari Indonesia tak kehilangan orang pintar. Semuanya bagus dalam pola berpikir, mereka cerdas, terbukti dengan duduknya mereka pada Kursi-kursi yang terhormat itu, namun karena tak adanya nilai romantisisme maka tak heran jika dengan pola pikirnya mereka dapat melakukan tindak pidana korupsi.
Donny Syofyan salah satu Dosen Fakultas Ilmu Budaya mengartikan romantisisme sebagai suatu aliran yang meragukan atau memberontak pada segala sesuatu yang bersifat mapan, pasti, dan teratur yang menjadi dasar pemikiran aliran klasik, yaitu aliran yang mendewakan akal seperti yang kerap disuarakan oleh Rene Descrates “Cogito ego sum,” (Aku berfikir maka aku ada).
Pada umumnya, kaum romantik lebih senang menyampaikan isi hatinya, apa yang ia rasakan, serta tekanan emosinya, pada sebuah karya. Baik karya tulis, gambar, maupun seni karya rupa lainnya. Tak menutup kemungkinan juga, karya yang kaum romantik buat terlepas dari pakem akademik seni.
Bukan juga berarti, kaum klasik yang mendewakan akal pikiran tidak menuangkannya pada suatu karya. Banyak karya yang diciptakan oleh mereka kaum yang menjunjung tinggi akal pikiran. Namun bedanya nampak jelas. Karya yang dibuat oleh kaum klasik segala sesuatunya dipertimbangkan oleh akal dan lebih merasa bertanggung hawab pada masyarakat. Sebaliknya kaum romantik, ia berkarya hanya sekedar menyampaikan sebuah perasaan, sehingga menjadi sebuah karya yang tidak terikat, bebas, dan bertanggung jawab pada diri sendiri. Hal tersebut bisa terjadi sebab kaum romantik merasa bahwa perasaan lebih jujur baik untuk diri sendiri maupun orang banyak.
Kaum romantik mempercayai bahwa perasaan lebih dapat dipercayai, karena jujur. Berbeda dengan pikiran yang dapat memanipulasikan segala hal demi nafsu semata. Begitupun yang disampaikan oleh hawthrone secara detail dalam the scarlet latter yang tentang kebenaran yang tak ada di akal pikiran melainkan tiga hal, yakni; Naluri, Hati Nurani, dan emosi.
Terbesit sebuah pertanyaan sederhana, apakah mahasiswa sebagai penerus peradaban bangsa dapat memiliki nilai-nilai romantisisme? Sebab, sebenernya nilai romantisisme ini yang benar-benar dibutuhkan bangsa yang sudah terpapar oleh mafia keparat. Jika seandainya tiap individu mahasiswa teguh pada nilai romantisisme maka tentunya ia butuh rasa nyaman, kasih sayang, dan rasa kebebasan. Sebab itulah bagian-bagian yang dibutuhkan oleh jiwa. Namun yang kerap menjadi masalah adalah rasa kebebasan itu, mahasiswa akan sulit mendapatkan itu. Berdiri di pemikiran dan gerakan sendiri adalah suatu ketidak patuhan kepada senior. Begitulah pada umumnya, tapi tidak secara menyuluruh. Dan dogma-dogma itu acap dibenarkan oleh mahasiswa.
Lebih dari itu, hal itu tentu saja menimbulkan penderitaan. Dan kian hari perkembangan zaman menuju Hedonisme semakin marak. Sungguh ini bagian yang tersulit. Boleh dilihat di setiap perguruan tinggi, masih adakah mahasiswa yang apatis pada fashion dirinya sendiri. Jika masih ada dan mendominasi pada zaman dahulu, maka masih banyak pula mahasiswa yang menganut nilai-nilai romantisisme.
Berdasarkan keberhasilan mahasiswa dalam romantisismenya, tentu ia menganggap bahwa peradaban bangsa lebih baik kembali pada alam. Artinya, kembali ke kehidupan sederhana. Menjadi petani, nelayan, pedagang, dan segala profesi yang kali ini dicap tidak terhormat. Dengan kembalinya pada kehidupan sederhana, tentunya Bangsa ini jauh dari peradaban kepalsuan dan kepura-puraan.
Hal serupa juga pernah terjadi pada Amerika yang melakukannya melalui seni sastra pada tahun 1810-1865. Hal tersebut memberikan dampak luar biasa bukan hanya didunia seni, melainkan pada sosial dan budaya seperti aktivitas revolusioner untuk kebebasan politik dan hak-hak individu, humanitarian reform (abolisme), femnisme, dan hak memeluk agama dan segala hal revolusi.
Dan sekedar menegaskan, jika seandainya mahasiswa berhasil menganut nilai-nilai romantisisme, maka mahasiswa tak melulu bergantung pada senior. Ia mampu berdiri pada pemikiran dan gerakannya sendiri.
1 komentar untuk "Menyebar Nilai Romantisisme Pada Mahasiswa "